Sabtu, 24 Juli 2010

Article

Mie Tarik ala La Mian

JALAN Sutera alias Silk Road, sebelah barat daratan Tiongkok yang merupakan pintu perdagangan timur- barat sekaligus gerbang negeri China, memperkenalkan beragam komoditas dari bubuk mesiu, sutra, porselen, hingga bakmi. Tanpa dinyana, salah satu bakmi khas China, yakni shanghai la mian atau sering disingkat la mian, yang kini merambah Indonesia, juga berasal dari Jalan Sutera, tepatnya di Provinsi Gan Su.

GAN Su di barat daya China ini terletak memanjang sepanjang Jalan Sutera, terbentang antara Provinsi Xin Jiang, Mongolia Dalam, Qing Hai, Si Chuan, Shan Si, dan Ning Xia Hui. Wilayah ini memiliki karakteristik khusus karena menjadi pertemuan budaya suku bangsa nomaden (Uigur-Tajik-Kazak- Hui-Mongol), etnis Han, dan ajaran Islam.

Sesuai dengan karakter wilayahnya, stepa, gurun, dan pegunungan, membuat ternak kuda, sapi, dan kambing populer di kawasan ini sehingga secara tak langsung memengaruhi budaya pembuatan bakmi setempat yang dominan menggunakan lauk daging sapi dengan kaldu kental. Rasa pedas turut mewarnai seni kuliner khas kawasan ini, membedakannya dengan kawasan lain di China yang memiliki makanan khas bakmi dengan pelengkap daging ayam atau babi sebagai teman makan.

Bakmi ini dibuat dengan tarikan tangan terampil koki sehingga mendapat sebutan la mian (la berarti tarik dan mian berarti mi, dibaca lamien-Red). Tak ketinggalan para pembuat bakmi la mian seperti koki Xiao Long Long (29) yang bekerja di Restoran Crystal Jade La Mian Xiao Long Bao di Jakarta mendapat julukan khusus, yakni "La Mian Shifu" alias Suhu La Mian.

Menurut Long Long, tradisi tersebut sudah berusia berabad lamanya di Gan Su, tempat kelahirannya. Alkisah, seorang pria bermarga Gan adalah penemu la mian semasa Dinasti Qing (1644-1911 M).

Lama-kelamaan la mian pun menjadi populer di daratan Tiongkok, terutama di kota-kota besar di pesisir timur China, seperti Kota Shanghai. Bahkan akhirnya justru lebih populer dengan sebutan shanghai la mian.

Kini para suhu la mian tersebut turun gunung menjelajah kota besar Indonesia berbekal ilmu pemuas lidah dan pengisi perut warisan Jalan Sutera.

MEMBUAT la mian adalah sebuah seni dan atraksi menarik. Panjang, pendek, lebar, tipis, untaian mi dalam adonan tangan terampil seorang shifu menjadi tontonan khas sebelum menyantap la mian. Menarik, membanting, memutar, memilin, kemudian sepanci air mendidih disiapkan untuk merebus mi buatan tangan itu. Lantas, jadilah seporsi bakmi sedap.

Dalam satu menit, Long Long mampu membuat tiga porsi la mian dan setiap hari ratusan porsi la mian dihasilkan oleh tangan terampilnya.

Long Long bersama rekannya, Zhao Er Hu dan Yang Yong Feng, belajar bertahun-tahun untuk dapat membuat la mian yang baik dan benar. Long Long telah 10 tahun menjadi koki la mian di Shanghai setelah sebelumnya menjadi pembantu koki selama dua tahun.

Kebetulan sekali ketiga orang shifu ini berasal dari Provinsi Gan Su, tempat kelahiran la mian. Mereka telah berpengalaman bekerja di restoran besar berkapasitas 200-300 pengunjung di Shanghai.

Para pria Gan Su adalah pewaris setia budaya kuliner la mian. Semisal Long Long, dia memiliki adik lelaki dan paman (jiu-jiu-Red) berprofesi sama, menjadi la mian shifu. Bahkan paman Long Long memiliki sebuah restoran besar di Shanghai yang mampu menampung ratusan pengunjung.

Untuk "turun gunung" ke Indonesia, para shifu harus bersaing dengan ratusan rekan sejawat. Pihak restoran di Indonesia menyeleksi secara ketat terhadap keahlian membuat la mian para shifu sejati.

Seleksi shifu ini sangat penting karena pada dasarnya walau telah menjadi koki bertahun-tahun pun mereka belum dapat menyandang gelar shifu. Mereka boleh menyandang gelar tersebut setelah mengikuti ujian resmi negara berupa ujian praktik. Ujian ini membuktikan butuh keseriusan menangani segumpal adonan terigu menjadi semangkuk bakmi!

"La mian you qi zhong. You xiao, you kuan de deng deng," kata Long Long dengan tangan bergerak memainkan adonan terigu, memperagakan variasi la mian yang bisa dibentuk tipis, sedang, tebal, menjadi kwee tiaw dan bentuk lain.

Sebagai pelengkap la mian, hadir pelbagai "topping", mulai dari irisan daging sapi tipis, urat sapi, buntut, hingga variasi daging ayam kuah kental. Lebih kurang selusin variasi sajian la mian asli handmade ini.

Semuanya tentu saja menjadi hidangan eksotik, sedap, dan tersaji dalam mangkuk besar khas Tiongkok. Sebagai tambahan, semangkuk kecil kuah kaldu bening, sebotol sambal dan kecap menjadi teman la mian. Tak ketinggalan sepasang sumpit, sendok berupa gayung kayu kecil menjadi alat utama menyantap gulungan mi.

Untuk menjaga keaslian rasa dan mutu, bahan baku seperti terigu, minyak, dan garam didatangkan langsung dari Tiongkok. Untuk telur, Long Long menggunakan produk lokal.

Keterampilan membuat la mian ditunjukkan oleh koki Xiao Bing (31) asal Shanghai di Restoran Yen Palace di Mal Kelapa Gading Tiga, Jakarta Utara. Bapak satu anak itu telah berkecimpung dalam pembuatan la mian selama tujuh tahun.

Begitu terampilnya, sampai- sampai Xiao Bing dengan enteng mengatakan kesannya, "Ya memang mudah. Sama seperti di negerinya, saya bekerja di Indonesia cuma menarik-narik adonan menjadi la mian yang sedap."

Seni membuat la mian yang atraktif membuat dapur restoran jenis ini menyatu dengan deretan meja makan pelanggan. Sambil menyantap hidangan, pengunjung restoran dapat menyaksikan kepiawaian para shifu membuat la mian.

Sejumlah restoran la mian, seperti Crystal Jade La Mian Xiao Long Bao di Plaza Indonesia, Shang Hai La Mian di Jalan Hayam Wuruk, Yen Palace di Mal Kelapa Gading Tiga, menjadi contoh betapa rumah makan dapat menjadi ajang pertunjukan seni memasak.

Metamorfosis gumpalan adonan menjadi seporsi mi memang menarik. Shifu mengoles adonan terigu dengan minyak, membanting, kemudian mengambil segumpal besar adonan itu. Adonan pun dipotong-potong kira-kira sepanjang 20 sentimeter. Potongan kecil itu segera ditarik, diputar, dan dibanting berulang kali hingga membentuk mi menjulur tergantung di antara kedua tangan shifu.

Setelah mencapai ukuran ideal tipis memanjang, shifu menceburkan onggokan la mian ke panci berisi air mendidih. La mian diangkat dari panci berpindah ke mangkuk, diberi lauk sesuai dengan pesanan.

MENIKMATI la mian memang sebuah pesona tersendiri, seni hidangan dipadu dengan pertunjukan atraktif para shifu pembuat mi. Suasana sedemikian rupa tentu tak berbeda dengan restoran la mian di Tiongkok.

Meski semua serba asli dan khas nyaris menyerupai la mian di tempat asalnya, ada satu hal yang sangat membedakan la mian Jakarta, yaitu soal harga seporsi.

Restoran di Jakarta menjual la mian dengan harga bervariasi, Rp 20.000 – Rp 35.000, tergantung dari jenis pelengkap hidangan pilihan konsumennya. Padahal, di negeri asalnya, la mian adalah makanan rakyat seharga RMB 3-5 semangkuk atau berkisar Rp 3.000-Rp 5.000 (1 renminbi atau RMB senilai Rp 1.000). Paling murah adalah la mian polos untuk para vegetarian dan yang tergolong mewah adalah la mian urat atau buntut sapi. Belum lagi lauk- pauk atau sayur-mayur.

Memang disayangkan, hidangan rakyat di negeri asalnya ini justru menjadi barang mewah di Indonesia. Demikian pula para shifu la mian belum lagi mendapat kesempatan menurunkan ilmu kepada para pedagang mi di Indonesia. Keahlian mereka mendapat bayaran mahal di Indonesia. Para shifu modern tersebut tidaklah tinggal di biara sederhana layaknya mahaguru. Akomodasi mewah dan gaji berlimpah adalah imbalan mereka.

Bayangkan seandainya para pedagang mi ayam pun mampu membuat la mian dengan cita rasa Indonesia, tidak ubahnya Marco Polo memperkenalkan la mian ke Eropa menjadi spageti. Sungguh, pesona yang ditawarkan Jalan Sutera belumlah mati!

Sabtu, 17 Juli 2010

Artikel

Port eats drinks and plays


“We’ve got 6000 people in here!”

Pity the task of the frustrated security guard turning away a long line of patrons, around 9 pm, at the gates of Saturday’s Food and Wine Festival.

But by all accounts from those who made it inside Rex Smeal Park, this year’s festival indeed exceeded expectations.

Not even intermittent rain could dispel the elated spirits of well-contented diners.
Amidst the hum of a crowd milling under marquees for cover, 20 local restaurants and 11 wineries pulled off a catering feat.

Many stalls were left bare of wares, and all told satisfying tales of the biggest culinary festival to dock in Port Douglas.

Angelo Marras of Sardis Restaurant declared the event “absolutely fabulous”.
“Overall, we expected it to be busy, but actually it’s better than our expectations,” he said.

He said Sardis’ calamari – 950 pieces of which were painstakingly, individually skinned before cooking – had proves a popular dish.

“The queues haven’t been too bad and the stand has handled the crowd very well,” Mr Marras said.

Across a rather damp park, at the Zai Japanese Restaurant stand, sous chef Yoshiaki Mantono has sold out of his popular sushi.

Mr Mantono said his team had been up at the crack of dawn to prepare 1000 packs of oriental cuisine for the festival.

“Last year, we had noodles and yakitori (chicken kebabs), but this time we changed the menu to California rolls, sushi, and sashimi,” Mr Mantono said.

And for those who still craved a kebab, the Star of Siam staff were busy at the hotplate with 6000 skewers of Thai fare.

The Radisson Resorts ‘Arabian Nights’ stand, which had run out of kebabs by 10 pm, was still tempting passers-by with its “hit of the night” – sticky date pudding.
For patron and stand-up comedian Pierre Simel, from Melbourne, the dessert had topped off a world-class event.

“I’ve been to the Venice Festival, the Beerfest in Munich, and Pamplona (the running of the bulls) in Spain.”

“Out of the festivals I go to (each year), Port Douglas Carnivals is at the top of the list,” Mr Simel said.

But where would all this creative cuisine be without a good drop in company?
While Tyrell’s Wines had sold out of white, Jacobs Creek NQ manager Jason Kibby said his stand had found more popularity with red wine.

“Merlots tend to be the biggest seller in the Port Douglas region,” Mr Kibby said.
“Port Douglas is known for its boutique style, so merlot is a grape that fits in well up here,” he said.

Mildara Blass sales manager (Queensland) Mark Kitson said he was happy tp see more locals at Food and Wine, 1999.

“It’s a good mix of people – everyone’s had a whale of time,” Mr Kitson said.