Jumat, 14 Mei 2010

Article

Pendidikan di Sumatera Selatan

Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia kita. Namun saat ini, pendidikan kita sedang mengalami krisis serius dan menuntut perhatian serta penanganan yang sungguh-sungguh.

Krisis dan Pendidikan

Krisis multidimensional berkepanjangan yang dialami bangsa ini, sejatinya adalah krisis kemanusiaan. Titik tumpu pembangunan pada pertumbuhan ekonomi di masa lalu telah membuat kualitas manusia kita dalam arti luas terabaikan, dan akhirnya menjadi rendah. Era Reformasi seolah-olah membuaka selubung wajah kemanusiaan kita yang sesungguhnya, compang-camping.

Beberapa hasil riset seperti Indeks Pekembangan Manusia (Human Developing Index / HDI) kita, peringkat korupsi, peringkat perguruan tinggi, dan peringkat daya saing menunjukkan kelemahan SDM kita. Hampir semua sektor kehidupan bangsa ini ternyata lebih rendah dibandungkan dengan negara-negara lain, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Kenyataan ini tentu saja berkolerasi positif terhadap dunia pendidikan. Pendidikan Nasional kita telah gagal dalam membangun dan mengembangkan sumber daya manusia.

Apapun kebaikan yang kita harapkan tentang masyarakat dan bangsa ini di masa depan, maka tidak akan bisa lepas dari pendidikan. Apabila kita hendak secara signifikan dan mendasar menjawab berbagai persoalan bangsa ini, maka pendidikanlah yang terlebih dahulu harus dibenahi, karena disanalah akarnya. Sejarah bangsa-bangsa maju seperti Jepang dan Malaysia membuktikan kebenaran pemikiran ini. Kedua negara tersebut mengalami percepatan kemajuannya justru setelah mereka merestorasi sistem pendidikan nasionalnya.

Jepang pada tahun 1800-an atau sebelum restorasi Meiji, merupakan sebuah negara terbelakang. Sistem pemerintahan Bakufu yang konservatif dan tertutup telah menyebabkan negeri matahari terbit itu bak katak dalam tempurung. Mereka melakukan modernisasi setelah dikalahkan bangsa Barat. Langkah Restorasi itu didahului oleh perjalanan sebuah tim yang diutus pemerintah untuk berkeliling dunia selama dua tahun.

Misi perjalanan itu ialah mencari blue print modernisasi, khususnya cetak biru sistem pendidikan yang terbaik bagi Jepang. Kebijakan pendidikan Jepang pada masa itu adalah menyerap sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju dan mengolahnya sesuai dengan tradisi dan kebutuhan setempat.

Mereka mengirim ribuan pelajar dan mahasiswanya ke negara-negara maju, dan sebaliknya mendatangkan ribuan guru-guru asing untuk mengajar di Jepang. Jepang mengalami kemajuan luar biasa hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh tahun. Mereka memiliki sistem pendidikan nasional yang mandiri dan mantap, yang emadukan unsur-unsur modern dengan nilai-nilai tradisional Jepang. Keberhasilan sistem pendidikan itu teruji ketika bom atom di Hiroshima dan Nagasaki meluluhlantakkan negeri tersebut. Dari keterpurukan akibat Perang Dunia II, negeri Matahari Terbit itu memang “terbit” dengan cepat, meraih apa yang disebut the economic miracle.

“Look East”


Langkah spektakuler Jepang ini menginspirasi Mahatir Muhammad untuk membangun Malaysia dengan semboyan “Lihat ke Timur” (Look East), dan berhasil. Malaysia yang pada tahun 60 hingga 70-an berguru kepada kita dalam berbagai hal, kini jauh meninggalkan kita. Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy / NEP) Malaysia telah mengubah dan mengefektifkan sistem pendidikannya.

Lembaga pendidikan dijadikan agen yang mengubah mentalitas Melayu yang pemalas menjadi pekerja keras dengan berakal sehat. Malaysia melakukan gerakan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Jepang, mengirim banyak pelajar dan mahasiswanya serta mendatangkan banyak tenaga pengajar, termasuk dari Indonesia ke Malaysia. Kini mereka telah menetapkan visi 2020 sebagai super power.

Pendidikan Kita

Pendidikan kita mengalami berbagai anomali akut baik secara fundamental, struktural, dan operasional. Secara fundamental, pendidikan kita belum memiliki arah yang jelas. Kita memang memiliki tujuan pendidikan seperti yang tertera dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Tetapi rumusan tujuan itu sangat umum sehingga meskipun diderivasi secara hirarkis, tetap saja tidak memberikan arah operasional yang jelas.

Gambaran komopetensi apa yang dimiliki oleh seorang siswa ketika ia pergi meninggalkan sebuah jenjang persekolahan tertentu tidak terukur dan kabur. Kekaburan fokus ini pada akhirnya berimplikasi kepada kurikulum yang diterapkan.

Permasalahan struktural pendidikan kita tampak pada kebijakan-kebijakan yang trial and error; hit and run. Seringkali sebuah keputusan yang menyangkut nasib jutaan umat manusia hanya untuk kepentingan sesaat berdasarkan ide, saran, atau keinginan seorang pejabat atau sekelompok elit yang merasa paham tentang pendidikan. Gonta-ganti kurikulum, Pelajaran PSPB di masa lalu, Pelaksaan UAN (Ujian Akhir Nasional), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), adalah contoh-contoh dari ketiadaan visi para pengambil kebijakan di negeri ini. Persoalan struktural lainnya ialah sistem birokrasi yang tidak memuliakan guru serta manajemen yang menindas dan korup.

Masalah operasional pendidikan kita terletak pada praktik kelas, dan manajemen sekolah. Rangkaian panjang birokrasi pendidikan kita berujung pada proses pembelajaran di kelas dengan guru sebagai kunci kesuksesannya. Apabila proses pembelajaran di kelas berkualitas, maka produk pendidikan akan berkualitas pula. Menjadi jelaslah bahwa inti persoalan mutu pendidikan kita adalah pada kompetensi guru, dan dari sanalah pembenahan dapat dimulai. Kompetensi guru terbentuk dari wawasan, penguasaan materi ajar, dan pehamana serta keterampilan metodologis.

Pembenahan praktik kelas tidak lain meningkatkan kompetensi guru yang diikuti oleh perbaikan sarana dan prasarananya. Ini menjadi tidak mudah karena saling berkaitan dengan banyak hal, seperti anggaran pendidikan, sistem pendidikan tenaga keguruan, rekrutmen, dan kesejahteraan guru. Meskipun demikian dengan adanya otonomi daerah, program peningkatan bidang ini tampaknya menjadi lebih mudah.

Masih pada level struktural, banyaknya keluhan masyarakat belakangan ini tentang mahalnya biaya pendidikan, ketidakadilan, ketidakjelasan sistem, tidak lain bersumber dari manajemen sekolah. MBS, ternyata melahirkan simbiose antara pihak manajemen sekolah dengan komite sekolah yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan. Konsep komite sekolah yang mengawang-awang pada praktiknya hanyalah melegalisasi berbagai pungutan liar di sekolah. Tetapi ironisnya, di tengah keluh kesah tingginya biaya pendidikan, nasib guru yang menjadi pilar sekolah masih saja miskin. Merekonstruksi manajemen sekolah dan memberikan insentif kepada guru merupakan langkah pragmatis jangka pendek yang perlu dilakukan segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar